Beritikaf Dengan Meninggalkan Kewajibannya Sebagai Pegawai
SAAT-SAAT YANG BERI’TIKAF MENINGGALKAN ITI’KAF
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan yang beri’tikaf meninggalkan i’tikafnya, apakah sesudah terbenam matahari di malam hari raya atau setelah fajar hari rayanya .?
Jawaban.
Masalah i’tikaf itu berakhir dengan berakhirnya Ramadhan. Akhir Ramadhan terjadi ketika matahari terbenam di malam hari raya. Misalnya, orang memasuki i’tikaf pada saat matahari terbenam di malam dua puluh Ramadhan, maka sepuluh hari terakhirnya dimulai dari sejak matahari itu terbenam sampai terbenamnya pula di malam hari raya.
ORANG TUA YANG TIDAK MENGIZINKAN ANAKNYA BERITI’KAF
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukum seseorang yang tak diizinkan beri’tikaf oleh orang tuanya karena sebab-sebab yang tak dapat diterima..?
Jawaban.
I’tikaf itu sunnat hukumnya. Sedang berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib. Perkara sunnat tak bisa menggugurkan yang wajib, sebab yang wajib mesti diutamakan.
Dalam hadits Qudsy, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Tidaklah hambaku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-senangi kecuali pada apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya”.
Apabila ayahmu melarangmu beri’tikaf dengan alasan-alasan yang menurutmu untuk tidak beri’tikaf karena kamu dibutuhkan, maka pertimbangannya berada di tangan ayahmu, bukan pada kamu. Sebab bisa jadi pertimbanganmu tidak tepat ketika ingin beri’tikaf. Jika alasan ayahmu dapat diterima, maka saya sarankan kamu jangan beri’tikaf. Tetapi jika ayahmu tidak menyebutkan alasan yang jelas, maka larangannya tidak mesti diikuti agar kamu tidak kehilangan suatu manfa’at.
BERITIKAF DENGAN MENINGGALKAN KEWAJIBANNYA SEBAGAI PEGAWAI
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang beri’tikaf selama dua puluh lima hari Ramadlan dengan meninggalkan tugas kewajibannya sebagai pegawai, maka bagaimana hukumnya.?
Jawaban.
Tidak diragukan bahwa orang yang beri’tikaf dengan meninggalkan kewajibannya sebagai pegawai berarti telah berijtihad. Akan tetapi, ijtihad tanpa hukum syara’ adalah perbuatan keliru. Memang seseorang akan diberi pahala bila ia berijtihad dan menginginkan suatu kebenaran, tetapi hendaknya ijtihad itu didasarkan atas Kitab dan Sunnah.
Orang yang meninggalkan tugas kepegawaiannya karena ambil i’tikaf adalah ibarat yang merobohkan suatu kota dengan mendirikan suatu bangunan, sebab ia telah mengerjakan hal yang dianjurkan dan tak seorangpun dari kaum muslimin yang menganggapnya wajib. Ulamapun sepakat bahwa i’tikaf itu sunnat.
Sedangkan melaksanakan kewajiban sebagai pegawai terkandung dalam ayat :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” [Al-Maidah/5 : 1]
Firman-Nya pula :
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu dipinta pertanggung jawabannya”. [Al-Israa/17 : 34]
Dengan demikian, laki-laki seperti yang ditanyakan, termasuk telah meninggalkan hal yang wajib demi yang dianjurkannya. Karena itu, ia wajib menghentikan itikafnya dan kembali ke pekerjaannya semula bila ingin selamat dari dosa.
Jika tetap pada itikafnya, berarti ia beritikaf pada waktu milik orang lain, sebab pelbagai kaidah ahli fikih menetapkan bahwa itikaf seperti itu tidak sah, sebab dilakukan pada waktu yang dirampas dari orang lain.
Sehubungan dengan hal itu, saya ingatkan kepada saudara-saudara yang ingin berbuat kebaikan hendaklah jangan mengesampingkan dasar-dasar hukum serta dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah agar ijtihadnya benar dan beribadah kepada Allah berdasarkan ilmu.
[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.230-235, Alih bahasa Prof. Drs.KH. Masdar Helmy, Penerbit Gema Risalah Press]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5191-beritikaf-dengan-meninggalkan-kewajibannya-sebagai-pegawai.html